Sunyi di tengah Hiruk Pikuk Duniawi

Sendiri bukan berarti kesepian, kesepian sudah pasti sendirian.

Kesepian, hal yang kini terasa menyeramkan bagi saya. Terdengar seperti menyedihkan meskipun pada kenyataannya memang benar. Hidup tanpa adanya orang yang bisa diajak bertukar kabar membuat dada sesak dan sakit kepala sampe kepalang. Selepas bekerja, pulang dan masuk ke dalam rumah, rasanya seperti memasuki gua penuh semak belukar dengan duri, tanah becek nan licin, gelap yang begitu menyesakkan, buntu dengan ujung bongkahan batu. Melakukan rutinitas membosankan, menggulirkan jemari di dunia maya yang fana dengan segala panjat sosial, ketenaran, pamer kebahagiaan, argumentasi tiada ujung, saling bergunjing, meledek, berkeluh kesah, tertawa jenaka, bersedih ria, jatuh cinta, patah hati dan segudang perasaan lainnya yang menjadi efek samping, tapi saya masih aja merasa kesepian tiada banding.

Apa penawarnya? Haruskah saya membagikan pesan bahwa saya butuh teman mengobrol dan tolong temani saya, atau cukup buat hal nyeleneh yang orang pada umumnya sukai agar keberadaan saya bisa diperhatikan. Ibu psikolog saya bilang, tetaplah terhubung dengan orang lain, kesepian membuat kamu terselimuti oleh perasaan dan pikiran negatif mengenai kehidupan.

Tetapi, jangan hanya memberi saran. Tolong bantu dan tunjukan, bukan berarti saya tidak mau berusaha, semua usaha dengan semakin bertambahnya umur, membuat saya kesusahan dan nggak leluasa lagi untuk tiba-tiba saling kenalan dan menjadi teman. Bahkan, konsep pertemanan di kepala saya kini menjadi kabur dan tidak jelas. Apa sebenarnya tingkat dari pertemanan, indikasi apa yang menunjukkan bahwa kamu teman dia, dan dia teman kamu. Saya mengerti bahwa ini aneh, tapi saya nggak bisa melepaskan pikiran itu. Bertanya kepada satu-satunya sahabat saya mengenai ini, dia dengan terang-terangan menjawab, “Itu aneh, dan kayaknya kamu nggak perlu ngeribet-ribetin pikiran, dan hidup kayak gitu. Masa jadi temen aja harus ada syaratnya dulu, itu aneh dan aku pun nggak tau”.

Kini saya menjadi sangsi dengan pemikiran sendiri.

Setiap orang mempunyai sifat alami yang berbeda. Saya Mafhum, perasaan ini hanya bisa diatasi dengan berinteraksi, tetapi bagaimana? Bagaimana langkahnya, lewat mana saya harus melewatinya, dengan cara apa saya melakukannya, dimana saya bisa mencarinya. Tuntun saya, karena saya nggak bisa melakukannya begitu aja bak para superhero yang memberantas kejahatan, itu hanya fiksi!

Media sosial itu terasa dekat namun sebenarnya asing. Saya penasaran bagaimana mereka orang-orang pra-digital bisa terhubung satu sama lain, dan mengatasi perasaan kesepian ini.

Saya membayangkan seperti sedang bermain di labirin! Berlari-lari mencari seseorang, jika sudah bertemu dan urusan selesai, saya harus berlari lagi mencari yang lain, berjalan jika kelelahan bahkan duduk bersimpuh kadang saya lakukan jika menyerah dan putus asa. Mengapa tidak ada yang tinggal? Kesibukan yang saya lakukan tidak bisa mengusir perasaan bahwa saya butuh seseorang. Saya berpikir, apakah dulu saya pernah benar-benar merasakan seperti ini? Bagaimana saat itu saya bisa bertahan?

Suatu malam, saya benar-benar menyadari kesepian yang selama ini selalu saya tolak. Dan sepertinya hingga saat ini saya masih berada di fase penolakan, tapi susah untuk beradaptasi bahkan berdamai dengan kondisi. Akahnkah proses ini bisa saya lalui.


Tinggalkan komentar