Emangnya Membaca Buku Fiksi Bisa Membuatmu Jadi Orang yang Lebih Baik, ya?

@j.dhaiwinn, 2022

Subjektifitas sebuah media itu terletak pada: satu si pembuat, dua si penikmat..

Ketika saya kecil, saya ingat betul selalu tertarik dengan perpustakaan yang terletak di salah satu sekolah dekat rumah, meskipun bukan murid sekolah tersebut, dengan modal penasaran dan nekat saya cuek aja keluar masuk cuma buat minjem buku yang ada di perpustakaannya, sekalian membaca buku-buku yang sebagian besar bertema fabel dan dongeng anak. Saat itu buku pop up merupakan buku yang paling saya sukai, apalagi dibarengi dengan ilustrasi hewan-hewan lucu, saya nggak pernah ingat buku itu menceritakan apa, tapi perasaan ketika melihat ilustrasi-ilustrasi lucunya itu yang membuat saya senang.

Menginjak usia empat belas tahun, pertama kalinya saya tertarik mengunjungi toko buku Gramedia di daerah Bandung, saat itu bersama Bapak yang selalu menemani dan mau diajak kemana-mana, saya berkenalan dengan lebih banyak jenis buku seperti komik, novel, cerita-cerita fiksi. Bermodal uang jajan yang udah saya kumpulin selama dua minggu bahkan satu bulan, akhirnya koleksi buku saya pun semakin lama semakin banyak.

Jika mendengar dari kisah teman masa sekolah dulu, ternyata saya cukup kutu butu, yang membaca di pojokan ketika istirahat, atau pun jam kosong, sedikit merasa kesepian karena diantara semua teman kelas nggak ada yang punya minat sama dengan saya. Tapi, hubungan sosialisi saya dengan mereka baik-baik aja kok. Saat-saat dimana saya rela begadang hanya karena penasaran bagaimana akhir dari cerita yang saya baca, atau saya yang selalu membawa buku kemanapun pergi hanya agar bisa membacanya di kereta, disaat menunggu, disaat gabut. Bagi saya buku sudah menjadi salah satu bagian dari kisah perjalanan tumbuh kembang saya.

Hingga kini, hingga saya meninggalkan komik, serta buku novel bertema asmara, hingga saya berpindah dengan berbagai macam cerita fiksi, cerita menyedihkan hingga yang menyeramkan, apakah dengan membaca buku fiksi membuat saya menjadi orang yang lebih baik? lebih pintar? dan lebih mudah untuk mengeluarkan pendapat?

Saya nggak bisa menjawab iya atas semua pertanyaan tersebut, saya masih belum merasa menjadi orang baik saat ini, pun dengan pintar agaknya masih banyak hal yang harus saya pelajari, mengeluarkan pendapat juga kadang saya masih kesusahan, masih bergumul dengan perasaan apakah pendapat saya akan didengar dan dianggap? pengalaman tidak mendapatkan respon atau bahkan diabaikan membuat saya agak sedikit menutup diri. Saya juga nggak bisa ngasih kamu jaminan kalau baca buku fiksi bisa bikin diri kamu menjadi lebih baik, pintar, berkelas tinggi, dan fafifu wasweswos lainnya.

Buku fiksi seyogyianya ialah media hiburan, sama halnya dengan menonton film, bermain game, atau melakukan hobi lainnya. Apakah kudu ada hikmah, amanat, pelajaran, kisi-kisi kehidupan, ulangan dan lain sebagainya itu yang kamu dapatkan? Selayaknya media hiburan, alih-alih berekspektasi mendapat hal lain kenapa kamu nggak berharap untuk mendapat rasa senang serta kepuasan aja? Lari sedikit dari drama yang ada di kehidupan nyata? Nggak semua hal kudu ada hikmah, amanat dan terserah apa kamu sebut itu, ya namanya juga media hiburan, kalau kamu butuh segala hal macam motivasi dan pelajaran kenapa nggak cari buku pelajaran, video les atau soal latihan SBMPTN aja sekalian?

Terus ntar ada yang bilang, “Loh kan selain media hiburan kan bertujuan untuk menyampaikan pesan ke penikmat, kalau nggak ada yang bisa diambil masa cuma hiburannya doang?”. Lah emang, kok baru sadar sih? Subjektifitas sebuah media itu terletak pada: satu si pembuat, dua si penikmat. Bisa aja dong saya menganggap buku Sepotong Senja Untuk Pacarku itu merupakan buku yang sangat sarat akan makna tapi menurut kamu nggak juga tuh, atau menurut kamu film Multiverse of Madness banyak hikmah yang bisa diambil loh, tapi menurut saya nggak sih biasa aja.

Nggak perlu membanding-bandingkan hobi satu dengan hobi lainnya, menonton film di bioskop dengan harga satu tiket lima puluh ribu pun sama kok dengan membeli satu buku fiksi, sama-sama merasa terhibur? iya, bedanya experience yang didapatkan, mungkin dengan menonton film kamu akan mendapatkan pengalaman, sensasi ketika keseruan dari film favorit diputar, membeli buku kamu mendapatkan barang fisik yang bisa dijadikan koleksi, mendapatkan keseruan serta rasa puas ketika berhasil menamatkan satu cerita, bukunya pun jika sudah bisa diikhlaskan bisa kamu jual kembali atau dihibahkan pada mereka yang memang membutuhkan.

Pertanyaan buat apa koleksi buku, sama halnya jika saya bertanya pada kamu yang gemar mengoleksi sepatu, tas, karakter game, atau peralatan elektronik yang kalau dipikirin pun kayak buang-buang uang aja, mending ditabung untuk cicilan KPR!