Hujan; Sebuah Usaha Melupakan

@j.dhaiwin

“Kamu tahu, ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok.”
― Tere Liye, Hujan

Awalnya saya suka dengan novel ini, tapi setelah membaca untuk kedua kalinya kok malah jadi kesal ya?

Hujan adalah novel karya Tere Liye yang pertama kali saya baca. Saya nggak ngira kalau novel dengan genre sci-fi, romance ini akan membuat saya ketagihan membaca karya beliau yang lain. Seperti pepatah yang mengatakan jangan menilai buku hanya dari cover atau judul saja, berlaku pula dengan novel ini. Hujan, firasat saya sih kisah nya akan klise seperti kisah anak indie pada umumnya. Dengan segala filosofi kopi, cinta, air mata dan tak lupa hujan. Tetapi, deskripsi pada bab awal mendobrak ekspektasi saya dengan jelas bahwa ini bukan hanya persoalan cinta menye anak remaja.

Mengambil latar pada tahun 2050-an, dengan penggambaran futuristik, dan masalah populasi manusia meningkat. Lail, seorang anak berumur 13 tahun yang hendak pergi ke sekolah di hari pertamanya malah mengalami kejadian naas dengan kehilangan kedua orang tua akibat bencana gunung purba yang meletus. Di tengah pergumulan dari rasa terpuruk, duka, lara, bingung, serta putus asa, seorang anak lain bernama Esok menuntun nya untuk beranjak dari kesedihan, menemani dan bercanda laiknya kakak-beradik. Hingga mereka tumbuh dewasa, berpisah, sibuk dengan kepentingan masing-masing sambil memendam benih perasaan yang lama-kelamaan menjadi buah awal dari kesalah pahaman, sakit hati, dan berakhir ingin melupakan.

Novel Hujan dan mungkin beberapa novel lain setidaknya sering memberitahu pada kita bahwa sebenarnya, jika kamu bisa mengatasi persoalan sensitif mengenai perasaan ini, tidak akan berakhir dengan sakit hati. Hubungan antar manusia dengan manusia lain itu nggak bisa hanya diasumsikan oleh diri sendiri, menebak-nebak. Nah, bagaimana jika dari awal mereka mengkomunikasikan semua itu, tentang kesibukan mereka, tentang perasaan mereka? bisa sih, tapi mungkin cerita ini nggak akan ada atau jika ada-pun, saya nggak bisa dapet amanat seperti ini dan nggak bisa menulis review nya kayak gini.

Lalu bagian mana yang membuat saya kesal? saya kesal karena banyak sekali padanan kata yang diulang, rasanya seperti setiap kalimat atau paragraf harus menggunakan kata tersebut yang membuat saya jadi kehilang fokus dalam membaca, kadang saya menggerutu, “Iya tau kok tau, kenapa kata yang ini harus diulang lagi sih, kan udah diceritain itu sebelumnya, ini udah ke empat kalinya diulang loh, capek banget.”

Tapi overall, itu hanya satu kekesalan dari jumlah tak terbatas sukanya saya dengan novel ini, kepinggirkan dulu masalah kata yang diulang. Narasi yang ditulis oleh beliau serta ide, dan emosi yang terkandung dalam novel ini patut untuk dilirik, bukan hanya mengenai cinta dua anak remaja, tetapi juga persahabatan yang solid Lail dengan Maryam, masalah global mengenai bencana iklim, teknologi canggih yang memudahkan serta membuat para manusia malah jadi saling menyombongkan diri juga egois, serta sedikit gelak tawa dari percakapan dan tingkah laku tokoh, terutama Maryam. Jika dibandingkan dengan kisah percintaan Lail, Esok, saya lebih tertarik dengan deskripsi bencana alam yang Tere Liye kisahkan. Debaran yang dirasakan sangat nyata, hingga rasanya nggak sabar untuk membalikan halaman, saya sempat berpikir apakah kisah ini sebelumnya memang pernah ada dan benar terjadi di bumi? bagaimana jika gunung purba yang hingga kini masih ada tiba-tiba meletus, apakah keadaan akan sama dengan apa yang diceritakan novel Hujan atau bahkan lebih parah?

Anwy, sosok seperti Esok agaknya nggak akan bisa ditemukan di dunia nyata, pintar, baik hati, sedikit romantis dan bikin capek banget tiap hari digantungin perasaannya kayak jemuran.