Nge-Review Novel Cinta di Dalam Gelas

Cinta di Dalam Gelas
Oleh : Andrea Hirata

Pelajaran moral nomor 20: persoalan syahwat adalah asal muasal penyakit jiwa kepribadian ganda.

Tulah nomor 21, bahwa tulah menteri pendidikan lebih tinggi dari tulah presiden.

Cinta di Dalam Gelas merupakan kisah lanjutan dari dwilogi Padang Bulan. Sama serunya dengan kisah pertama, namun dengan banyak tokoh baru serta keunikan watak dan sifat mereka yang semakin mewarnai cerita Cinta di Dalam Gelas ini, dan kisah hidup yang semakin pelik, juga segala stereotip yang berhembus didalam sepanjang kisahnya. Hidup mereka penuh dengan intaian bahaya. Cinta? berantakan. Istri? kena minggat. Bisnis? kena tipu. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun lagi, jatuh, bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.

Ikal, yang masih tak bisa melepaskan cintanya dari A Ling akhirnya memilh untuk bekerja akibat setiap hari ia mendapat teror ancaman dari sang ibu, “Lelaki muda, sehat walafiat, terang pikiran, dan punya ijazah, tidak bekerja? Sepatutnya disiram dengan kopi panas!” Hingga lambat laun, ia bisa melupakan kisah percintaan tragisnya dan menikmati pekerjaaanya di kedai kopi sang paman bersama tiga orang lain, Midah, Hasanah, dan Rustam.

Enong alias Maryamah, perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Ia lulus dari kursus bahasa Inggris dan menjadi lulusan terbaik kelima. Namun, nasib ternyata tak hanya sampai disitu. Masalah rumah tangganya pelik, Matarom dan catur telah menjadi biang keladi kesusahannya.

Dalam kisah kedua ini saya kira, masalah utama yang ingin dibahas oleh penulis ialah mengenai stereotip, patriarki masyarakat mengenai perempuan, serta budaya mereka yang masih susah untuk menerima pemikiran-pemikiran orang kota. Maryamah memutuskan ingin mengikuti pertandingan catur, harus melewati banyak perdebatan terlebih dahulu, pasalnya masyarakat disana tidak menerima jika ada perempuan bermain catur, karena bagi mereka itu adalah perbuatan melawan laki-laki, dan jelas saja bagi mereka catur adalah permainan khusus untuk laki-laki, dan sangat bertentangan dengan syariat agama.

Penulis dengan cermat menjelaskan, masalah-masalah sensitif ini. Malah sampai membuat saya ikut geram juga, mengapa perempuan sangat susah untuk diberikan hak kebebasannya. Kita diajak untuk melihat bukan hanya dari sudut pandang Maryamah selaku yang dituntut, tapi juga bagaimana masyarakat melihat fenomena ini. Mengapa mereka bersikukuh mempertahakan pendapat bahwa perempuan bermain catur itu melanggar syariat agama, serta merupakan perbuatan melawan laki-laki.

Hal lain yang menurut saya menarik selain kisahnya adalah pertandingan catur yang dibalut dengan penjelasan memukau. Ketika pertandingan catur dimulai saya seakan sedang membaca strategi perang, setiap langkah bidak catur dijelaskan secara terperinci, jadi tidak hanya bayangan catur saja yang terlintas di benak, tapi bayangan peperangan pun muncul menambah keseruan dari hanya pertandingan catur biasa. Ah, sesuai dengan apa yang saya ekspektasikan setelah selesai membaca buku pertama Padang Bulan, kisah Cinta di Dalam Gelas ini pun sama memukaunya, apalagi dengan bertambahnya tokoh dengan watak unik seperti paman si Ikal yang menurut saya akan kerepotan jika berususan dengannya, selain cara bicara ia yang kelewat kritis, aneh ia juga ternyata mudah sekali naik pitam sehingga bisa dibilang sangat mewarnai kehidupan Ikal sang Bujang. Serta pertandingan catur yang terlihat sederhana tapi siapa sangka, kamu bisa memetik banyak makna dari masalah-masalah yang ada.

Tinggalkan komentar