Nge-Review Novel Padang Bulan

@j.dhaiwin

Padang Bulan
Oleh : Andrea Hirata

“Waspada, Bujang. Lidah membuat dosa, semudah parang merampas pisang.”

Salah satu penggalan kalimat yang saya suka dari kisah Padang Bulan. Saya penasaran, apa ada tali penghubung antara lidah yang membuat dosan dengan parang merampas pisang? mengapa harus pisang? apakah ini semacam pengadaian, atau peribahasa, perumpamaan?

Padang Bulan, karya Andrea Hinata yang baru saya tahu merupakan dwilogi Cinta di Dalam Gelas. Kisah segar, rasanya karena saya jarang betul membaca buku dengan bau bahasa daerahnya sangat kental. Seperti ulasan para pembaca lain, saya setuju bahawa cerita ini merupakan sebuah kisah yang indah dengan kedalaman intelektualitas, humor yang dibalut dengan watak, sifat para tokoh yang unik, parodi dan cinta, serta kiat memahami dengan cara yang tak biasa, sebagai pembuka mata bagi pembaca untuk melihat budaya, diri sendiri. Sepertinya saya harus menjajal membaca buku karya beliau yang lain.

Cerita ini mengisahkan dua tokoh, perempuan bernama Enong, dan seorang lelaki bernama Ikal. Hidup untuk mengejar impian, walaupun orang bilang itu hal yang tidak masuk akal, mengingat keadaan keluarga masing-masing yang dibilang secukupnya pun tidak. Enong, sedari kecil bercita-cita ingin menjadi seorang guru, namun hal tersebut harus ia tunda karena kabar duka dari ayahnya yang meninggal tertimbun tanah di ladang pertambangan timah. Selaku anak tertua ia paham betul apa yang dimaksud dengan bertanggung jawab, maka dengan nekat dan keputusan yang sudah bulat, ia memilih untuk bekerja nan jauh, untuk menghidupi ibu serta adik-adiknya.

Ikal seorang lelaki yang sehat walafiat namun sakit saraf karena kandas kisah cintanya, sang pujaan hati bernama A Ling, menikah dengan lelaki bertubuh tinggi, besar, bernama Zinar. Rencana minggat dari rumahnya pun gagal total karena sang ayah sakit parah, pulang kerumah ia kira akan mendapat sambutan hangat tapi nyatanya malah mendapat ceramah dari sang ibunda tercinta dengan alis naik macam pedang,”Elok nian tabiatmu! Apa kau sangka cinta bisa ditanak?”

“Sampai bersayap mulutku bicara, cari kerja sana! Melamar jadi pegawai pemerentah. Pakai baju dinas, banyak lambang di pundaknya, aih, gagahnya, dapat pangsiun pula!”

Ah, saya sangat menyukai dialog ini, bukan karena humor yang didapat akibat reaksi sang ibu yang tidak sesuai harapan Bujang, atau kelakuan dia yang sepertinya diluar nalar akibat putus cinta, namun juga dari tutur bahasa yang digunakan pun membuat saya menyukainya. Dan membuktikan bahwa, sama dengan orang tua lain, sang ibu ingin anaknya menjadi seorag pegawai pemerentah!

Namun, rencana pergi ke Jakarta nya pun kandas juga, di tengah perjalanan ia berpikir untuk melakukan tanding catur dengan Nizar, siapa tahu jika ia menang ia akan mendapatkan kembali cinta A Ling. Pulang kembali ke rumah, sang ibu yang bingung dengan alasan Bujang yang nggak masuk akal, mengakhiri pembicaraan dengan berkata, “Keluarkan ijazah-ijazahmu! Kutaksir ijazah-ijazahmu ini banyak yang palsu, Bujang.”

Hahaha, humor saya meledak.

Kisah mereka berdua, menurut saya patut untuk kalian baca, bagaimana perjuangan Enong yang ingin menggapai cita-citanya serta bagaimana kisah penuh humor lain dari tingkah Ikal yang sakit saraf akibat putus cinta. Tak lupa, didalam kisah ini pun sterselip puisis-puisi indah. Ah, saya menemukan keseruan lagi dari membaca buku.