Day 5 #30DayWritingChallenge

Are you early or nocturnal? Write the pros and cons of being one.

Kepinginnya sih nokturnal, tapi kehidupan mengharuskan saya untuk bangun lebih awal, agar rejeki nggak dipatok ayam.

Selama kurang lebih dua puluh tahun hidup, saya dituntut untuk (bisa) bangun pagi, bukan tanpa alasan. Sekolah dari mulai dasar sampai kejuruan mengatur siswa nya untuk masuk tepat pukul 7, bahkan beberapa orang mungkin harus bangun lebih awal untuk menyiapkan segala kebutuhan dia, seperti membuat sarapan atau ngulet di dalem selimut dulu misalnya (?) Siklus itu berlangsung hingga saya kemudian masuk ke dunia kerja, yang mana kalau telat semenit aja rasanya bisa menjadi ranjau bagi mood saya seharian.

Tapi nyatanya, kebiasaan bangun pagi nggak menjadikan saya terbiasa untuk bangun pagi pula ketika libur dari segala aktivitas dunia. Hari libur adalah pemuas hasrat balas dendam selama kurang lebih enam hari berkutat dan bergumul dengan pekerjaan. Atau, cukup ngulet dan rebahan aja itu sudah menjadi nikmat tersendiri bagi sendi-sendi saya yang kaku karena kebanyakan duduk. Masalahnya, mungkin saya akan dianggap pemalas, apalagi bagi kaum perempuan yang selalu diberikan ekspektasi untuk seumur hidupnya bangun pagi, beres-beres, olahraga, fafifu wasweswos lainnya. Padahal semua gender berhak untuk bangun siang, dan nggak usah heran kalau ada orang yang jam 8 baru bangun, padahal jam 8 itu masih termasuk pagi loh. Nggak usah heran juga kalau ada orang yang bangun jam 10, kamu nggak tau alesan dibalik dia bangun jam segitu, tapi kalau misalnya dia bangun jam segitu sehabis males-malesan seharian itu patut untuk kamu siram.

Jadi saya bukan tipikal orang yang keranjingan untuk bagun pagi, apalagi akhir-akhir ini rasanya bodo amat buat bangun pagi yang penting hasrat tidur saya terpenuhi. Tapi apakah berarti saya orang yang ‘ngalong’ juga? Saya nggak seberpengalaman kawanan ngalong lain sih. Bahasa ngalong saya ambil dari kelelawar yang termasuk jenis hewan nokturnal alias aktif di malam hari, sama hal nya dengan saya yang kadang jam tiga dini hari pun masih melek, waktu malam adalah saat dimana saya bisa mencoba hal-hal baru, atau menyelesaikan hobi yang tertunda akibat seharian kerja, atau cuma karena nggak bisa tidur aja, sekaligus sebagai ajang untuk sedikit menenangkan diri.

Maka dari itu kamu nggak perlu merasa bersalah, karena ngalong pun bisa menjadi cara terbaik untuk menyayangi diri sendiri. Bahkan, untuk beberapa orang termasuk mereka yang ‘berkutat’ dengan dunia kreatif seperti desainer, penulis, content creator, dan hal seni lainnya. Malam hari adalah jam yang berharga untuk mereka mendapatkan secercah inspirasi, mereka menganggap malam hari adalah jam-jam tenang, tanpa diganggu dengan kesibukan yang biasanya terjadi ketika siang, seperti notifikasi gawai, suara bising dari tetangga yang lagi bangun rumah, anak kecil yang merengek minta jajan, knalpot motor cempreng bikin pusing, atau bahkan suara mangkuk dari mang bakso mengingatkan kamu yang nggak punya uang.

Kamu nggak akan pernah sadar betapa nyaman nya suasana malam kalau kamu nggak mencoba. Mungkin, masalah nggak tidur semaleman bagi saya yang kerja siang nya adalah ngantuk dan ketiduran di kantor, udah itu ajasi. Kadang bikin pusing tapi bisa saya atasi dengan tidur di toilet.


Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan kembali konsistensi saya dalam menulis, karena dua bulan lamanya nggak menulis apa-apa, males berkedok nggak dapet inspirasi. Bagi orang yang bisa melawan rasa malasnya mungkin saya bakal kena semprot karena nyalahin inspirasi bagi kesalahan sendiri. Ok 30 Day Writing Challenge.

Day 3 #30DayWritingChallenge

Write about the things or activities that make you happy

@journalless_

Saya bersyukur pertanyaan ini hanya memuat satu jawaban, karena kalau list mungkin tulisan ini akan berakhir dengan ribuan kata, yang percuma juga, saya bukan artis yang bisa bikin orang lain penasaran dengan hal-hal apa yang saya senangi.

Banyak hal yang bisa membuat saya bahagia, dari hal sesederhana dan sepele seperti liat barang-barang di rumah nggak berantakan pun itu udah bagian kecil dari banyaknya hal yang bisa bikin saya bahagia, karena kalau nggak berantakan, saya yang seharian bergumul dengan aktivitas kerja dan kuliah ini nggak usah capek-capek lagi beres-beres, dan cuma rebahan aja, rasanya hidup ini begitu membahagiakan. Tapi, satu aja jawaban yang akan secara langsung muncul di otak saya ketika mendengar pertanyaan ini adalah: jalan-jalan dimalam hari.

Iya, Aneh nggak? Pemandang kota dimalam hari itu indah banget loh, saya sering ngejulukinnya dengan Bintang Bumi. Kalah deh sama pemandangan sunset atau sunrise yang sering kamu lihat dan dijadikan status dengan quote indie itu.

Padahal kalau dipikir-pikir juga saya jarang untuk pergi main atau jalan-jalan malem, entah itu mengelilingi jalanan kota pake sepeda motor, atau jalan kaki. Tapi, ketika sekalinya ngelakuin itu rasanya happy banget, saya suka ngeliatin jalan, ngeliatin suasana di daerah yang berbeda, ngeliatin lampu-lampu yang warnanya berbeda pula, mereka nggak pernah sekalipun terlihat monoton, selalu cerah, lampu kendaraan, lampu jalan, lampu rumah. Rasanya seperti ada sesuatu yang cerah, hangat dan berwarna bisa masuk ke dalam pikiran dan kehidupan saya meskipun hanya sesaat, dan itu rasanya lega banget, saya ngerasa nggak sendirian walau nyatanya ketika jalan-jalan saya sendirian.

Sejenak saya bisa tenang dan nggak memikirkan apapun, dengan semilir angin dingin menembus lapisan baju yang saya gunakan, tapi itu malah menambah kesan yang membahagiakan. Tapi awas jangan sampai masuk angin kata orang-orang yang baca tulisan ini. Kota yang masih hidup meskipun sudah malam, orang-orang yang sibuk seperti nggak ada lagi hari esok, mereka yang masih mencari nafkah dimalam hari, terlihat jelas oleh saya.

Membuat saya bisa mengerti kembali keadaan hidup yang sebenarnya.

Begitu sih kira-kira kalau mau ditulis secara puitis.

Dan ternyata, saya nggak perlu muluk-muluk untuk ngerasa bahagia, dengan melihat pemandangan kota yang cerah oleh warna lampu aja bisa bikin saya ngerasa lega dan happy gini, diperjalanan pulang sambil bertanya, “Apa lagi yang selanjutnya mau kamu lakukan?”.


Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan kembali konsistensi saya dalam menulis, karena dua bulan lamanya nggak menulis apa-apa, males berkedok nggak dapet inspirasi. Bagi orang yang bisa melawan rasa malasnya mungkin saya bakal kena semprot karena nyalahin inspirasi bagi kesalahan sendiri. Ok 30 Days Writing Challenge.

Day 2 #30DayWritingChallenge

List three things you are grateful for and why?

@journalless_

Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan kembali konsistensi saya dalam menulis dan melemaskan jari-jari saya setelah hampir dua bulan lamanya nggak menulis apa-apa, males berkedok nggak dapet inspirasi. Bagi orang yang bisa melawan rasa malasnya mungkin saya bakal kena semprot karena nyalahin inspirasi bagi kesalahan sendiri. Ok 30 Days Writing Challenge. Prompt saya dapetin dari Pinterest, kalau kamu penasaran coba cari tau sendiri ya.

Tiga hal yang membuat saya bersyukur dalam hidup ini:

1). Musik

Terberkatilah kalian yang menghasilkan musik-musik enak untuk didengar dan dinikmati. Musik adalah hal yang paling saya syukuri saat ini. Banyak aktivitas yang saya lakukan dan kebetulan membutuhkan musik, dimulai dari bosen di tempat kerja, denger musik. Ngantuk saat perjalanan, denger musik. Stress ngerjain tugas yang numpuk juga denger musik. Karena saya juga tinggal sendirian aja di rumah, maka bisa dipastikan bahwa saya kesepian, rumah hening bikin saya membayangkan hal aneh dan macam-macam seperti kejadian yang ada di film horror atau thriller, kalau udah terbayang hal seperti itu biasanya kalau nggak minta ditemenin virtual sama temen atau dengerin musik sambil ikut nyanyi teriak-teriak macam artis betulan meskipun liriknya nggak hapal sama sekali. Makannya saya nggak bisa bayangin bagaimana nasib kalau nggak ada musik.

2). Teman

Nggak nyangka kalau orang yang nggak punya temen ini, hal yang paling disyukuri nya malah teman. Dulu kalau diinget sih saya cuma punya teman yang ‘sekadar’ aja, sekadar teman ngobrol di sekolah, sekadar nemenin jalan pulang, sekadar jajan bareng aja pas istirahat. sekadar semua aktivitas di dalam ruang lingkup tersebut. Sekarang saya punya teman yang nggak ‘sekadar’, teman yang bisa saya repotin kalau lagi kesel seharian, teman yang ngerti kalau saya sebenarnya aneh, gajelas, dan pundungan, teman yang bisa saya ajak keliling nyari hal nggak penting sekalipun, teman yang bisa diandalkan, yang ngajarin banyak hal, yang ngingetin saya punya banyak salah. Dengan aktivitas di dalam ruang lingkup yang lebih luas, meskipun kalau dihitung dengan jari bisa kali teman saya nggak nyampe lima orang, tapi saya bersyukur karena seenggaknya hidup nggak sendirian amat.

3). Internet

Ya internet, fyi aja ini saya nulis dengan internet yang lemot banget bahkan sampe nggak ada sinyalnya sama sekali, lama, bikin saya ngeuh kalau ternyata hidup tanpa ada internet barang satu menit aja mungkin udah bikin saya kelimpungan. Tanpa internet saya nggak bisa publish tulisan ini, dan kamu juga nggak bisa baca tulisan ini, nggak bisa dengerin musik dengan leluasa, nggak bisa misuh-misuh ke temen, nggak bisa berkomunikasi dengan orang lain, nggak bisa pdktan, atau stalk akun mantan, meskipun kamu bisa ngeles dengan bilang masih ada kok SMS yang menggunakan pulsa, kenapa nggak sekalian ngeles aja dengan bilang masih ada surat dengan jasa pengantar yang udah menjamur dimana-mana. Iya bener sih. Tapi, dengan internet juga kamu bisa mencari informasi lebih selain dari buku yang kamu baca, informasi yang cepat meski nggak sepenuhnya akurat, dan kamu harus pintar memilah mana yang harus dipercaya dan nggak, mana yang harus diingat dan nggak. Kebanyakan informasi bikin memori otak kamu malah penuh nggak guna.

Sebetulnya masih banyak jika harus di list hal apa yang membuat saya bersyukur dalam hidup ini, dan mungkin saya sendiri juga akan kaget dengan yang ada di dalam list tersebut, tiga hal diatas pun sebetulnya saya nggak nyangka juga hahaha, tapi karena judulnya cuma tiga dan saya juga agak nggak yakin kalau tulisan ini bakal dibaca jadi sekian, sila baca dan jaga jarak aman.


Day 1 #30DaysWritingChallenge

‘Describe Your Personality’ Pake MBTI

Hari itu di siang hari yang terasa panas saya baru tau ada yang namanya MBTI. Bermula dari status whatsapp seorang teman yang membagikan hasil tes MBTI nya berisi teks njelimet, nggak paham ISFP, ISFJ atau apalah itu nggak inget, saya baca sekilas dan oh ternyata itu semacam tes kepribadian, yang bisa saya samain dengan tes-tes yang ada di google dengan judul Apa Gambar yang Pertama Kamu Lihat? kaya gitu nggak ya? atau hasil dari ramalan-ramalan sifat seseorang melalui zodiak nya?

Entah karena hal ini tabu, atau saya yang mencoba selalu denial dengan tes kayak gini jadi membuat saya selama ini nggak percaya-percaya amat, pun karena saya nggak pernah mempertanyakan jati diri kepribadian yang sebenarnya sih, soalnya bingung dan satu-satunya yang selama ini saya pikirin itu cuman apa tujuan saya hidup. Mempelajari dan mencoba mengerti kepribadian, sifat, atau perilaku, serta memahami jalan pikiran seorang manusia itu sama susah nya seperti mempelajari matematika atau mengerti keinginan pasangan (kalau punya). Nggak semua orang punya hal-hal yang sama persis, toh bahkan anak yang kembar pun punya perbedaan nya masing-masing, makannya kadang saya suka pusing dan nggak paham buat memahami tentang mereka, tentang manusia, hanya mengandalkan feeling, intuisi dan mata batin (insyaallah), seperti apa yang dikatakan oleh Dazai Osamu dalam buku nya yang berjudul Gagal Menjadi Manusia, hal 87,

“… semua orang di seluruh dunia ini macam teka-teki atau kejar-kejaran; begitu kabur, rumit dan bisa dibilang selalu menghindari pokok masalah, hingga aku selalu kebingungan pada kehati-hatiannya”.

Kata-kata ini selalu mengingatkan saya juga pada tokoh anime bermana Iketeru dalam serial Uramichi Onii-san. Dikatakan bahwa dia susah untuk mengerti perkataan seseorang yang tersembunyi dalam sebuah ‘makna’, dengan air muka yang seolah paham, mendengarkan padahal dia nggak paham sama sekali, nggak dengerin, yang ada di gelembung pikirannya cuman nasi kepal ketika mendengar orang-orang bicara rumit. Pas semuanya udah selesai baru deh gelembung nya meteus ‘pop’ terus dia bilang, “lagi ngobrolin apa?”.

Balik lagi ke MBTI, akhirnya saya pun penasaran sebenernya apasih MBTI itu terus iseng nyoba-nyoba, kalau ikut tes saya bakal dapet hasil apa ya? apakah jati diri saya akan terungkap dalam tes ini? Buka Google, ketikan MBTI Test maka dengan durasi 0,0008 detik artikel mengenai personality MBTI pun test MBTI ini nampak muncul baris-berbaris, dari yang katanya paling akurat sampe yang ada embel-embel ‘Gunakan versi premium untuk mengetahui kekuatan serta kelemahan karaktermu’ gokil! yha nggak susah lah yah jaman sekarang apa yang kamu cari akan dengan mudah ditemukan. Dari beberapa tes yang saya jabanin dengan berbagai pertayaan mengenai kehidupan yang moga-moga menyenangkan itu malah ternyata kadang ampuh nya menyadarkan saya bahwa selama ini ternyata hidup saya menyedihkan, dan saya orang nya susah ambil keputusan, kebanyakan mikir juga nimbang-nimbang jawabannya. Beberapa pertanyaan bikin saya kelamaan mikir tentang bagimana cara kamu menanggapi situasi, keadaan tertentu, kehidupan asmara yang menyakitkan, sampe dikasih pilihan A atau B, padahal kalau kita mau milih keduanya gimana? Kan ga ada petunjuk boleh milih dua-dua nya, lalu nggak semua pertanyaan pernah saya alamin juga. Terus aneh juga kadang saya suka bingung kalau dikasih pertanyaan yang mana kadang saya ngelakuin kedua nya, contoh kayak,

Your desk is usually:

Super organized, or everything you’re workin on is super messy

Nah, kalau ditanya gini kan saya mikir nya lama buat jawab, kadang rapih banget, kadang kalo lagi moody males banget buat beresin sampe berantakan nya udah kayak kapal pecah. Mau pilih yang well organized tapi nggak enak, pilih messy until it feels like dying, tapi rasa-rasanya nggak gitu juga deh, ujung-ujung nya saya pusing sendiri, aduh. Apa saya harus membedah satu persatu pertanyaan tes MBTI ini? dari beberapa tes MBTI yang udah pernah saya kerjakan hasil dan penjelasan nya emang ngga jauh beda sih, tapi semuanya beda-beda. Nggak ada yang persis sama antara website satu dan website lainnya, jadi saya makin bingung, saya ini tipe apa? Masa multitasking yang kesini masuk ke sana masuk, ngerjain ini bisa ngerjain yang lain bisa kayak lowongan keja jaman sekarang syaratnya dari A sampe Z kamu harus bisa tapi dibayar pake pulsa, gokil revolusi industri four point O jaman kini.

Setelah pindah dari satu website ke website lain saya pun meneguhkan pendirian dan keyakinan bahwa diri ini termasuk dalam tipe INFJ Introvert, Nethink Intuitive, Feeling, Judging, atau lebih tepat nya tipe F, J, Feeling and Judging, karena hampir semua tes mempunyai hasil yang embel-embel nya F, J dengan kek nya bagian Introvert emang nggak bisa enyahkan lagi. Jadi Feeling dan Judging itu bermakna bahwa orang nya menyukai keteraturan, melakukan, mengerjakan atau berpikir sesuai aturan biar semuanya nggak berakhir dengan berantakan aja gitu, terus katanya ngambil keputusan lewat perasaan. Speking of which, dari yang saya baca mengenai komentar MBTI ini, beberapa orang memberikan kesan positif ke hasil nya, bukan berarti mereka menakar semuanya dari hasil ini, tapi kata mereka, dengan mengetahui kurang-lebihnya dari kepribadian mereka jadi bikin sadar diri aja, dan bisa dijadiin patokan buat berubah menjadi diri yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Nah kalau menurut kamu gimana nih?


Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan kembali konsistensi saya dalam menulis, karena dua bulan lamanya nggak menulis apa-apa, males berkedok nggak dapet inspirasi. Bagi orang yang bisa melawan rasa malasnya mungkin saya bakal kena semprot karena nyalahin inspirasi bagi kesalahan sendiri. Ok 30 Days Writing Challenge.

Nge-Review Novel Critical Eleven

@j.dhaiwin

Critical Eleven
Karya Oleh : Ika Natassa

Novel dengan genre romance ini menceritakan tentang kehidupan seorang lelaki dan perempuan,
suami dan istri, Anya dan Ale. bertemu di pesawat kemudian saling jatuh cinta, kemudian menikah.
Lalu karena suatu kejadian yang dialami sang istri Anya, akhirnya mereka pun melangsungkan
‘Perang dingin’.

Critical Eleven adalah buku kedua dari Ika Anatassa yang sudah saya baca, buku pertama yaitu Antologi Rasa, dan rasanya saya lebih suka buku itu. Meskipun, buku ini memiliki napas yang sama metropopnya, seperti bahasa, dan kehidupan. Alur yang digunakan dalam cerita ini pun kadang membahas masa lalu sang tokoh saat ada hal yang bikin mereka inget kembali, lalu nanti kembali lagi ke masa sekarang, dan ini faktor yang sangat membantu, mengingat di awal cerita setelah pertemuan mereka didalam pesawat, ceritanya jadi tiba-tiba sudah menjadi sepasang suami, istri, dan semakin dibuat bingung dengan keadaan mereka yang melaksanakan ‘perang dingin’.

Respon saya langsung seperti, “Loh, ini gimana kok tiba-tiba nikah terus ribut.”

Karena seingat saya, sepengalaman membaca buku, dengan dihadiahinya alur seperti ini rasanya belum pernah, pun untuk mengetahui penyebab mereka ‘perang dingin’ ini lumayan cukup lama, kamus harus membacanya telebih dulu sampe bab keberapa tuh, baru ngeuh masalah mereka apa, kenapa mereka sampe ribut. Lalu sama hal nya seperti cerita-cerita yang lain, yang menggunakan alur maju mundur, narasi hampir memenuhi sebagian dari cerita daripada dialog tokoh-tokohnya. it’s fine, ga terlalu masalah, tapi beberapa saya lewat atau bisa dibilang dalam mode fast reading, lompat-lompat gitu gitu nyari langsung ke bagian inti. Walaupun begitu, saya masih ngikutin alur cerita biar nggak ada missleading.

Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang sang tokoh, Anya dan Ale.
Anya menceritakan perasaan, keadaan dan apa yang dia pikirin tentang Ale dan sebaliknya. Hal ini bikin kita bisa paham hal yang dirasain dan apa yang dipikirin oleh masing-masing tokoh, bagaimana cara Anya menyikapi masalah dan semua yang Ale lakukan, dan bagaimana Ale merespon semua yang Anya lakukan. Dicerita ini juga saya suka percakapan yang dibangun diantara Anya dan Ale. Harris, Raisa, Tara dan Agnes, ngalir aja gitu pas baca. Terkadang dibeberapa dialog ada yang membuat saya sampe ketawa, bagian yang paling saya suka juga adalah saat salah satu dari mereka, entah itu Anya atau Ale menceritakan kisah sweet yang dilakukan dulu.

Dalam cerita ini banyak hal yang bisa dipelajari, entah itu dari cara kita menyikapi masalah didalam rumah tangga, tanpa menggunakan kata-kata, bahasa dan perilaku kasar, tanpa membuat keputusan yang tidak menggunakan akal sehat. Karena saat saya ngikutin cerita ini, kadang saya berpikir kenapa ga cerai aja sih, biar ga usah saling menyakiti. Tapi akhirnya saya tau, cara itu ga menyelesaikan masalah apapun. (dalam konteks), juga tentang gimana kamu sebaiknya bersikap kepada suami dan sebaliknya suami kepada istri meskipun misalnya kamu dan pasangan lagi ada masalah sampe mengharuskan untuk ‘Perang Dingin’.

Namun, ending dari cerita ini bikin saya agak kesel sih. Soalnya kaya “Loh gini aja? ending nya kaya gini? dari semua lika-liku masalah, ending nya gini?” Ok. Atau mungkin karena saya aja yang terlalu berharap, padahal seharusnya manusia nggak boleh berharap terlalu berlebihan agar nanti nggak kena mental pas nyatanya nggak sesuai harapan.

ya gitulah kira kira.

Hujan; Sebuah Usaha Melupakan

@j.dhaiwin

“Kamu tahu, ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok.”
― Tere Liye, Hujan

Awalnya saya suka dengan novel ini, tapi setelah membaca untuk kedua kalinya kok malah jadi kesal ya?

Hujan adalah novel karya Tere Liye yang pertama kali saya baca. Saya nggak ngira kalau novel dengan genre sci-fi, romance ini akan membuat saya ketagihan membaca karya beliau yang lain. Seperti pepatah yang mengatakan jangan menilai buku hanya dari cover atau judul saja, berlaku pula dengan novel ini. Hujan, firasat saya sih kisah nya akan klise seperti kisah anak indie pada umumnya. Dengan segala filosofi kopi, cinta, air mata dan tak lupa hujan. Tetapi, deskripsi pada bab awal mendobrak ekspektasi saya dengan jelas bahwa ini bukan hanya persoalan cinta menye anak remaja.

Mengambil latar pada tahun 2050-an, dengan penggambaran futuristik, dan masalah populasi manusia meningkat. Lail, seorang anak berumur 13 tahun yang hendak pergi ke sekolah di hari pertamanya malah mengalami kejadian naas dengan kehilangan kedua orang tua akibat bencana gunung purba yang meletus. Di tengah pergumulan dari rasa terpuruk, duka, lara, bingung, serta putus asa, seorang anak lain bernama Esok menuntun nya untuk beranjak dari kesedihan, menemani dan bercanda laiknya kakak-beradik. Hingga mereka tumbuh dewasa, berpisah, sibuk dengan kepentingan masing-masing sambil memendam benih perasaan yang lama-kelamaan menjadi buah awal dari kesalah pahaman, sakit hati, dan berakhir ingin melupakan.

Novel Hujan dan mungkin beberapa novel lain setidaknya sering memberitahu pada kita bahwa sebenarnya, jika kamu bisa mengatasi persoalan sensitif mengenai perasaan ini, tidak akan berakhir dengan sakit hati. Hubungan antar manusia dengan manusia lain itu nggak bisa hanya diasumsikan oleh diri sendiri, menebak-nebak. Nah, bagaimana jika dari awal mereka mengkomunikasikan semua itu, tentang kesibukan mereka, tentang perasaan mereka? bisa sih, tapi mungkin cerita ini nggak akan ada atau jika ada-pun, saya nggak bisa dapet amanat seperti ini dan nggak bisa menulis review nya kayak gini.

Lalu bagian mana yang membuat saya kesal? saya kesal karena banyak sekali padanan kata yang diulang, rasanya seperti setiap kalimat atau paragraf harus menggunakan kata tersebut yang membuat saya jadi kehilang fokus dalam membaca, kadang saya menggerutu, “Iya tau kok tau, kenapa kata yang ini harus diulang lagi sih, kan udah diceritain itu sebelumnya, ini udah ke empat kalinya diulang loh, capek banget.”

Tapi overall, itu hanya satu kekesalan dari jumlah tak terbatas sukanya saya dengan novel ini, kepinggirkan dulu masalah kata yang diulang. Narasi yang ditulis oleh beliau serta ide, dan emosi yang terkandung dalam novel ini patut untuk dilirik, bukan hanya mengenai cinta dua anak remaja, tetapi juga persahabatan yang solid Lail dengan Maryam, masalah global mengenai bencana iklim, teknologi canggih yang memudahkan serta membuat para manusia malah jadi saling menyombongkan diri juga egois, serta sedikit gelak tawa dari percakapan dan tingkah laku tokoh, terutama Maryam. Jika dibandingkan dengan kisah percintaan Lail, Esok, saya lebih tertarik dengan deskripsi bencana alam yang Tere Liye kisahkan. Debaran yang dirasakan sangat nyata, hingga rasanya nggak sabar untuk membalikan halaman, saya sempat berpikir apakah kisah ini sebelumnya memang pernah ada dan benar terjadi di bumi? bagaimana jika gunung purba yang hingga kini masih ada tiba-tiba meletus, apakah keadaan akan sama dengan apa yang diceritakan novel Hujan atau bahkan lebih parah?

Anwy, sosok seperti Esok agaknya nggak akan bisa ditemukan di dunia nyata, pintar, baik hati, sedikit romantis dan bikin capek banget tiap hari digantungin perasaannya kayak jemuran.

Nge-Review Novel Cinta di Dalam Gelas

Cinta di Dalam Gelas
Oleh : Andrea Hirata

Pelajaran moral nomor 20: persoalan syahwat adalah asal muasal penyakit jiwa kepribadian ganda.

Tulah nomor 21, bahwa tulah menteri pendidikan lebih tinggi dari tulah presiden.

Cinta di Dalam Gelas merupakan kisah lanjutan dari dwilogi Padang Bulan. Sama serunya dengan kisah pertama, namun dengan banyak tokoh baru serta keunikan watak dan sifat mereka yang semakin mewarnai cerita Cinta di Dalam Gelas ini, dan kisah hidup yang semakin pelik, juga segala stereotip yang berhembus didalam sepanjang kisahnya. Hidup mereka penuh dengan intaian bahaya. Cinta? berantakan. Istri? kena minggat. Bisnis? kena tipu. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun lagi, jatuh, bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.

Ikal, yang masih tak bisa melepaskan cintanya dari A Ling akhirnya memilh untuk bekerja akibat setiap hari ia mendapat teror ancaman dari sang ibu, “Lelaki muda, sehat walafiat, terang pikiran, dan punya ijazah, tidak bekerja? Sepatutnya disiram dengan kopi panas!” Hingga lambat laun, ia bisa melupakan kisah percintaan tragisnya dan menikmati pekerjaaanya di kedai kopi sang paman bersama tiga orang lain, Midah, Hasanah, dan Rustam.

Enong alias Maryamah, perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Ia lulus dari kursus bahasa Inggris dan menjadi lulusan terbaik kelima. Namun, nasib ternyata tak hanya sampai disitu. Masalah rumah tangganya pelik, Matarom dan catur telah menjadi biang keladi kesusahannya.

Dalam kisah kedua ini saya kira, masalah utama yang ingin dibahas oleh penulis ialah mengenai stereotip, patriarki masyarakat mengenai perempuan, serta budaya mereka yang masih susah untuk menerima pemikiran-pemikiran orang kota. Maryamah memutuskan ingin mengikuti pertandingan catur, harus melewati banyak perdebatan terlebih dahulu, pasalnya masyarakat disana tidak menerima jika ada perempuan bermain catur, karena bagi mereka itu adalah perbuatan melawan laki-laki, dan jelas saja bagi mereka catur adalah permainan khusus untuk laki-laki, dan sangat bertentangan dengan syariat agama.

Penulis dengan cermat menjelaskan, masalah-masalah sensitif ini. Malah sampai membuat saya ikut geram juga, mengapa perempuan sangat susah untuk diberikan hak kebebasannya. Kita diajak untuk melihat bukan hanya dari sudut pandang Maryamah selaku yang dituntut, tapi juga bagaimana masyarakat melihat fenomena ini. Mengapa mereka bersikukuh mempertahakan pendapat bahwa perempuan bermain catur itu melanggar syariat agama, serta merupakan perbuatan melawan laki-laki.

Hal lain yang menurut saya menarik selain kisahnya adalah pertandingan catur yang dibalut dengan penjelasan memukau. Ketika pertandingan catur dimulai saya seakan sedang membaca strategi perang, setiap langkah bidak catur dijelaskan secara terperinci, jadi tidak hanya bayangan catur saja yang terlintas di benak, tapi bayangan peperangan pun muncul menambah keseruan dari hanya pertandingan catur biasa. Ah, sesuai dengan apa yang saya ekspektasikan setelah selesai membaca buku pertama Padang Bulan, kisah Cinta di Dalam Gelas ini pun sama memukaunya, apalagi dengan bertambahnya tokoh dengan watak unik seperti paman si Ikal yang menurut saya akan kerepotan jika berususan dengannya, selain cara bicara ia yang kelewat kritis, aneh ia juga ternyata mudah sekali naik pitam sehingga bisa dibilang sangat mewarnai kehidupan Ikal sang Bujang. Serta pertandingan catur yang terlihat sederhana tapi siapa sangka, kamu bisa memetik banyak makna dari masalah-masalah yang ada.

Nge-Review Novel Padang Bulan

@j.dhaiwin

Padang Bulan
Oleh : Andrea Hirata

“Waspada, Bujang. Lidah membuat dosa, semudah parang merampas pisang.”

Salah satu penggalan kalimat yang saya suka dari kisah Padang Bulan. Saya penasaran, apa ada tali penghubung antara lidah yang membuat dosan dengan parang merampas pisang? mengapa harus pisang? apakah ini semacam pengadaian, atau peribahasa, perumpamaan?

Padang Bulan, karya Andrea Hinata yang baru saya tahu merupakan dwilogi Cinta di Dalam Gelas. Kisah segar, rasanya karena saya jarang betul membaca buku dengan bau bahasa daerahnya sangat kental. Seperti ulasan para pembaca lain, saya setuju bahawa cerita ini merupakan sebuah kisah yang indah dengan kedalaman intelektualitas, humor yang dibalut dengan watak, sifat para tokoh yang unik, parodi dan cinta, serta kiat memahami dengan cara yang tak biasa, sebagai pembuka mata bagi pembaca untuk melihat budaya, diri sendiri. Sepertinya saya harus menjajal membaca buku karya beliau yang lain.

Cerita ini mengisahkan dua tokoh, perempuan bernama Enong, dan seorang lelaki bernama Ikal. Hidup untuk mengejar impian, walaupun orang bilang itu hal yang tidak masuk akal, mengingat keadaan keluarga masing-masing yang dibilang secukupnya pun tidak. Enong, sedari kecil bercita-cita ingin menjadi seorang guru, namun hal tersebut harus ia tunda karena kabar duka dari ayahnya yang meninggal tertimbun tanah di ladang pertambangan timah. Selaku anak tertua ia paham betul apa yang dimaksud dengan bertanggung jawab, maka dengan nekat dan keputusan yang sudah bulat, ia memilih untuk bekerja nan jauh, untuk menghidupi ibu serta adik-adiknya.

Ikal seorang lelaki yang sehat walafiat namun sakit saraf karena kandas kisah cintanya, sang pujaan hati bernama A Ling, menikah dengan lelaki bertubuh tinggi, besar, bernama Zinar. Rencana minggat dari rumahnya pun gagal total karena sang ayah sakit parah, pulang kerumah ia kira akan mendapat sambutan hangat tapi nyatanya malah mendapat ceramah dari sang ibunda tercinta dengan alis naik macam pedang,”Elok nian tabiatmu! Apa kau sangka cinta bisa ditanak?”

“Sampai bersayap mulutku bicara, cari kerja sana! Melamar jadi pegawai pemerentah. Pakai baju dinas, banyak lambang di pundaknya, aih, gagahnya, dapat pangsiun pula!”

Ah, saya sangat menyukai dialog ini, bukan karena humor yang didapat akibat reaksi sang ibu yang tidak sesuai harapan Bujang, atau kelakuan dia yang sepertinya diluar nalar akibat putus cinta, namun juga dari tutur bahasa yang digunakan pun membuat saya menyukainya. Dan membuktikan bahwa, sama dengan orang tua lain, sang ibu ingin anaknya menjadi seorag pegawai pemerentah!

Namun, rencana pergi ke Jakarta nya pun kandas juga, di tengah perjalanan ia berpikir untuk melakukan tanding catur dengan Nizar, siapa tahu jika ia menang ia akan mendapatkan kembali cinta A Ling. Pulang kembali ke rumah, sang ibu yang bingung dengan alasan Bujang yang nggak masuk akal, mengakhiri pembicaraan dengan berkata, “Keluarkan ijazah-ijazahmu! Kutaksir ijazah-ijazahmu ini banyak yang palsu, Bujang.”

Hahaha, humor saya meledak.

Kisah mereka berdua, menurut saya patut untuk kalian baca, bagaimana perjuangan Enong yang ingin menggapai cita-citanya serta bagaimana kisah penuh humor lain dari tingkah Ikal yang sakit saraf akibat putus cinta. Tak lupa, didalam kisah ini pun sterselip puisis-puisi indah. Ah, saya menemukan keseruan lagi dari membaca buku.